Minggu, 28 April 2013

Dibalik Bacaan Basmalah


Ada seorang perempuan tua yang taat beragama, tetapi suaminya seorang yang fasik dan tidak pernah berbuat kebajikan.

Perempuan itu senantiasa membaca Bismillah setiap kali hendak memulai sesuatu.

Suaminya tidak suka dengan sikap istrinya itu dan senantiasa mengolok-oloknya. Tetapi istrinya tidak pernah meladeninya. Sebaliknya, dia selalu berdoa agar Allah SWT memberikan hidayah kepada suaminya.

Suatu hari suaminya berkata dalam hati, “Akan aku buat kamu kecewa dengan bacaan-bacaanmu itu.”

Untuk memulai aksinya, sang suami memberikan sebuah perhiasan kepada istrinya sambil berkata, “Simpan emas ini.”

Istrinya mengambil perhiasan itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Namun, suaminya mengetahui tempat di mana perhiasan itu ditaruh.

Beberapa waktu kemudian, dengan diam-diam, sang suami mengambil perhiasan tersebut dan membuangnya ke tengah laut.

Setelah beberapa hari kemudian sang suami memanggil istrinya dan berkata, “Mana perhiasan yang dulu aku titipkan kepadamu?”

Sang istri pun pergi ke tempat dia menyimpan perhiasan dan diikuti oleh suaminya.

Dengan berhati-hati, sang istri membuka almari dengan membaca, “Bismillaahirrohmaanirrohiim.”

(Saat itulah Allah SWT menyuruh Malaikat Jibril AS menyelam ke dasar laut untuk mengambil perhiasan tersebut dan menaruhnya kembali ke tempatnya semula).

Sang istri pun lantas mengambil perhiasan itu dan diserahkan pada suaminya.

Alangkah terperanjat sang suami...!!!

Dia merasa bersalah dan mengakui semua perbuatannya.

Seketika itu juga sang suami bertaubat dan mulai mengerjakan perintah Allah. Dia juga senantiasa membaca Bismillah apabila hendak memulai suatu pekerjaan.


Kisah ini dapat Anda lihat di dalam Kitab Uquud al-Lujjayn karya SyaikhMuhammad Nawawi

Senin, 22 April 2013

PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran agama Islam dengan disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa (Kurikuluim PAI, 3: 2002)
Zakiyah Darajat (1987: 87) mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi tua ke generasi muda agar generasi muda mampu untuk hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut adanya pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua hal, yaitu:
1. Mendidik siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam
2. Mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam, berupa pengetahuan tentang Islam.
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenangkan tentang pendidikan agama seperti; Islam diajarkan lebih pada hafalan, padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang harus diperaktekkan. Pendidikan Islam lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara agama dengan Tuhan-Nya; penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan. Hal ini diukur dari penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas yang dapat di demonstrasikan oleh siswa.
Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atas pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
2. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengmalan terhadap ajaran agama Islam.
3. Pendidik pendidikan agama Islam (GPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
4. Pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancarkan ke luar dalam hubungan keseharian dengan manusia lain baik seagama ataupun yang tidak seagama, serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional dan bahkan ukhuwah Islamiah.

Sumber: www.majalahpendidikan.com


Minggu, 21 April 2013

Apakah Anda Belajar Untuk Lulus Atau Belajar Untuk Kehidupan?

Ladies, beberapa waktu lalu, sebuah video pidato dari Erica Goldson di Youtube menjadi begitu fenomenal. Ini menjadi semacam 'pidato pengakuan' yang dilakukan siswi terbaik di sekolahnya itu. Vemale akan mengulas sejenak pada Anda.
Ladies, sejak kecil kita dididik untuk mau belajar. Semakin rajin mengerjakan pe-er, rajin belajar dan mendapat nilai yang bagus saat ulangan, maka kita dinilai 'bagus'. Namun seringkali kita lupa pada hakekat 'belajar' itu sendiri. Itulah yang dirasakan oleh Erica.
Dalam pidatonya yang seharusnya menjadi momen membanggakan itu, Erica mengakui bahwa dirinya takut. Mengapa?
Erica memang adalah siswi terpandai di sekolahnya. Ia memang selalu mendapatkan nilai terbaik dan seharusnya bisa bangga dengan dirinya saat mengucapkan pidato tersebut. Namun setelah direnungkan, ia mengakui bahwa dirinya tidaklah lebih pintar dari teman-temannya.
Selama ini Erica hanya menjalankan apa yang diperintahkan padanya. PR, ulangan, dan aturan sekolah. Ia hanya mengikuti aturan tersebut begitu saja agar ia terhindar dari hukuman, tidak lulus dan formalitas lainnya. Kenyataan ini mungkin menunjukkan betapa rajin dan tertibnya Erica. Setelah ini ia akan lulus, mendapatkan ijazah dan siap bekerja.
Namun Erica adalah seorang manusia yang berpikir dan mencari pengalaman hidup, bukan pekerja. Menurutnya pekerja adalah orang yang terjebak dalam rutinitas dan sistem yang mengatur serta membatasi mereka.
"Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat." ujar Erica.
Semua rutinitas pendidikan formal yang ia jalani membuatnya terbiasa untuk tekun, namun tidak terbiasa untuk menyadari 'pelajaran' yang sebenarnya. Hal inilah yang membuatnya takut untuk melangkah setelah kelulusan tiba.
Dalam pidatonya, ia nampak menyesali karena semasa sekolah ia seperti tidak 'hidup'. Saat temannya lupa mengerjakan PR karena sibuk mengerjakan hobi mereka, Erica memang sudah siap dengan PR yang tuntas dikerjakan. Saat teman-temannya membuat lirik lagu, Erica memang sudah memiliki catatan pelajaran atau bahkan mengambil ekstra SKS.
Karena sibuk belajar, Erica tak sempat memikirkan hobi dan hal apa yang diinginkannya. Ia pun belajar hanya demi lulus, bukan sebenar-benarnya belajar untuk mempersiapkan hidup di masa depan. Hal inilah yang menjadi pengakuan terpendam Erica, betapa rutinitas sekolah ternyata membuatnya kini terhenyak bahwa ia hanya belajar untuk lulus.
Pidato Erica ini memberikan pelajaran bagi kita yang belajar, kita yang akan membelajari dan kita yang akan memiliki anak-anak kita nantinya. Semua orang memang butuh berprestasi, butuh bekal teori, namun jangan lupa untuk memenuhi bekal hidup.
Masa muda adalah masa yang baik untuk memiliki impian, memiliki apa yang Anda inginkan dan berusaha mewujudkannya. Jangan terjebak dalam rutinitas sekolah yang memenjarakan, namun imbangi dengan kehidupan sosial dan kehidupan untuk Anda sendiri. 

So, jalan kehdupan kita adalah milik kita.meskipun takdir Allah selalu menyertai kita. Allah tidak akan merubah kehidupan siapaun yang tidak mau berusaha. kerjar impian dan keinginan yang ingin kita capai segigih mungkin sehingga kita dapat menggapainya dengan sempurna. MAN JADDA WA JADDA! Allah selalu menyertai kesungguhan kita. semoga sukses untuk kita.

PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN


Sebelum membahas tentang bagaimana pendekatan pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam terlebih dahulu di uraikan beberapa definisi humas itu sendiri. Istilah hubungan masyarakat (Humas) dikemukakan pertama kali oleh presiden Amerika serikat Thomas Jefferson tahun 1807.

Menurut Glennand Denny Griswold (1966) secara singkat dijelaskan bahwa humas merupakan fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap publik, penyesuaian prosedur instansi atau organisasi dengan kepentingan umum, menjalankan suatu progam untuk mendapatkan pengertian dan dukungan masyarakat.

Dalam bukunya: Scool Public Relations, Kindred Leslie mengemukakan: bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah dan masyarakat tentang kebutuhan dari praktek pendidikan serta mendorong minat dan kerja sama para anggota masyarakat dalam rangka usaha memeperbaiki sekolah.

Dari beberapa definisi tersebut diatas, mengandung sebuah pemahaman bahwa dalam pelaksanaannya pendekatan dan teknik pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam mengandung beberapa unsure. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
a. Humas merupakan filsafat manajemen yang bersifat social, yaitu humas merupakan filsafat sosial dari manajemen yang meletakkan kepentingan masyarakat lebih dulu pada segala sesuatu yang berkenaan dengan prilaku organisasi atau lembaga. Contoh: dalam sebuah lembaga sekolah bahwa tujuan utama sekolah bukan hanya untuk menguntungkan lembaga sekolah saja, akan tetapi juga untuk menguntungkan siswa dan orang tua siswa serta masyarakat yang ada
b. Humas adalah suatu keputusan kebijaksanaan, yaitu setiap lembaga pada hakekatnya memiliki kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diikuti dalam kegiatannya. Penciptaan kebijaksanaan ini merupakan tanggung jawab pokok dari pemimpin.

c. Humas adalah komunikasi dua arah, unsur dasar humas yang selanjutnya adalah komunikasi dua arah (two-way communications). Melalui kesamaan dalam mendengarkan opini publiknya, dan kepekaan dalam menginterpretasikan setiap kecenderungan kegagalan dalam komunikasi, mengevaluasi, serta mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah sifat, pendekatan, dan penekanan setiap fase kebijaksanaannya.

Selain beberapa unsur diatas, ada beberapa unsure yang terlibat dalam humas suatu lembaga pendidikan. Inilah beberapa unsur yang terlibat dalam humas suatu lembaga pendidikan , yaitu:
Pertama sekolah: sebagai pusat pendidikan formal. Sekolah lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan aktivitas didalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga pendidikan formal atau persekolahan adalah kelahiran dan pertumbuhannya dari dan untuk masyakat bersangkutan artinya adalah sekolah sebagai pusat kegiatan pendidikan formal merupakan perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Sekolah merupakan lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat oleh karena itu segala bentuk tujuan sekolah kesemuanya harus diarahkan kepada pembentukan corak pribadi dan kemampuan warga masyarakat sebagaimana target dan sasaran pendidikan di masyarakat tersebut.
Kedua Orang tua murid: Hubungan sekolah dan orang tua murid hendaknya dibawa kedalam hubungan yang konstruktif dengan program sekolah. Hubungan antara keduanya harus saling mendukung.

Ketiga Murid dan Guru: Murid adalah unsur sekolah yang sangat penting begitu pula seorang guru. Tugas seorang guru tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu pengetahuannya kepada anak didik saja akan tetapi harus memperhatikan tingkah laku, perbuatan, pergaulan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan murid.

Pelaksanaan kegiatan humas ditilik dari jenis sasarannya terdiri atas dua bagian, yakni humas dengan masyarakat internal dan dengan masyarakat eksternal lembaga pendidikan. Masyarakat internal terdiri atas guru, pegawai keseluruhan, dan peserta didik. Adapun masyarakat eksternal yakni orangtua, Komite Sekolah, masyarakat sekitar, sekolah lain, dunia kerja, dan instansi lainnya. Humas yang ditujukan kepada masyarakat internal bertujuan menjelaskan kebijakan sekolah, menampung saran, dan memelihara hubungan harmonis atau kerjasama antar warga. Humas yang ditujukan masyarakat eksternal bertujuan untuk memperoleh pengertian atau simpati masyarakat, memperoleh bantuan dalam penyelenggaraan program pendidikan, bantuan material, atau fasilitas pendidikan, serta dukungan moral dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.

Jenis kerjasama dalam humas pada lembaga pendidikan terdiri dari dua, yaitu :
1) Jenis kerjasama formal. Diwujudkan dengan pertemuan formal seperti rapat, upacara sekolah, penerbitan brosur atau pamflet, surat dinas, dan lain-lain
2) Jenis kerjasama informal. Diwujudkan dengan pertemuan informal seperti pembicaraan biasa, pertemuan yang sifatnya kekeluargaan, informasi lisan, dan lain-lain. Dalam penyelenggaraannya, kegiatan humas memerlukan media pendukung, baik visual, audio, maupun audio visual.

Adapun cara pendekatan pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam yang perlu diperhatikan secara persuasif artinya dengan teratur dan perlahan-lahan di sesuaikan dengan kondisi masyarakat. Atas dasar itu maka ada beberapa hal yang dapat ditempuh:
1) Pertemuan dari hati ke hati
2) Perkunjungan rumah
3) Laporan kemajuan belajar kepada orang tua
4) pertemuan kelompok, seperti
a. Tatap Muka
b. tukar menukar pengalaman
c. diskusi bersama.





Rabu, 17 April 2013

LATAR BELAKANG MUNCULNYA TAFSIR KONTEKSTUAL


Metodologi tafsir kontekstual Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia  Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan  ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan  membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama  pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,  penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan  antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.  Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau  makna  suatu  pernyataan Al-Qur’an,  dengan  mengkaji  situasi  atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik  dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis  yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan.  Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan yang pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[1] Metodologi tafsir Rahman tidak bias lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia  Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan  ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan  membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama  pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,  penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan  antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.  Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau  makna  suatu  pernyataan Al-Qur’an,  dengan  mengkaji  situasi  atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik  dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis  yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan.  Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan yang pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[2]


[1] Islamlib. Com/Id/Komentar Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas. (diakses pada tanggal 15 Desember 2008)
[2] Islamlib. Com/Id/Komentar Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas. (diakses pada tanggal 15 Desember 2008)

PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


Kajian Al-Qur’an pada salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai furqan. Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka Al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Pengertian tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.[1]
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat kompleksnya persoalan-persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.[2] Meskipun demikian, upaya penafsiran Al-Qur’an tetap dilakukan karena disamping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari nabi sendiri sebagai pengemban amanat.
Sejarah mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembngan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat para sahabat bertanya kepada nabi tentang ketidakpahaman tentang salah satu ayat, pada saat itu juga nabi langsung menjawabnya.
Penafsir Al-Qur’an yang pertama adalah nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, ulama salam, ulama khalaf, hingga para penafsir kontemporer. Masing-masing penafsir itu tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena situasi dan kondisi pada masing-masing waktu sangat berbeda. Meskipun ini ditolak oleh hermes dengan teori hermeneutikanya, yaitu bahwa yang paling berwenang dalam menafsirkan informasi dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia adalah pemakainya, yaitu manusia itu sendiri yang disesuaikan dengan konteks yang terjadi pada saat itu.
Berdasarkan masanya, tafsir kontekstual terbagi menjadi dua bagian yaitu tafsir klasik dan tafsir kontemporer/modern.
1.      Tafsir Klasik
Masa yang paling klasik pada penafsiran adalah pada masa nabi masih hidup dengan tatanan kehidupannya. Al-Qur’an diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang pada saat itu. Artinya Asbabun an Nuzulnya Al-Qur’an disesuaikan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Tentunya pada periode ini tidak banyak menimbulkan permasalahan yang sangat besar, karena selain ayat diturunkan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, juga adanya nabi sebagai penafsir ayat-ayat yang kurang jelas. Sehingga para sahabat yang tidak paham dapat bertanya langsung kepada nabi.
2.      Tafsir Kontemporer/Modern
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka tafsir kontemporer menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan oleh pemakainya, sehingga ia akan berusaha menggunakan yang lebih baru. Sehingga keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran kontemporer dalam Al-Qur’an mutlak diperlukan.[3]


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 143
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an fungsi dan wahyu dalam kehidupan masyarakat , (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
[3] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakrta: Teras, 2005), hlm. 51

SEJARAH PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


Kajian Al-Qur’an pada salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai furqan. Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka Al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Pengertian tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.[1]
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat kompleksnya persoalan-persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.[2] Meskipun demikian, upaya penafsiran Al-Qur’an tetap dilakukan karena disamping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari nabi sendiri sebagai pengemban amanat.
Sejarah mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembngan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat para sahabat bertanya kepada nabi tentang ketidakpahaman tentang salah satu ayat, pada saat itu juga nabi langsung menjawabnya.
Penafsir Al-Qur’an yang pertama adalah nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, ulama salam, ulama khalaf, hingga para penafsir kontemporer. Masing-masing penafsir itu tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena situasi dan kondisi pada masing-masing waktu sangat berbeda. Meskipun ini ditolak oleh hermes dengan teori hermeneutikanya, yaitu bahwa yang paling berwenang dalam menafsirkan informasi dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia adalah pemakainya, yaitu manusia itu sendiri yang disesuaikan dengan konteks yang terjadi pada saat itu.
Berdasarkan masanya, tafsir kontekstual terbagi menjadi dua bagian yaitu tafsir klasik dan tafsir kontemporer/modern.
1.      Tafsir Klasik
Masa yang paling klasik pada penafsiran adalah pada masa nabi masih hidup dengan tatanan kehidupannya. Al-Qur’an diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang pada saat itu. Artinya Asbabun an Nuzulnya Al-Qur’an disesuaikan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Tentunya pada periode ini tidak banyak menimbulkan permasalahan yang sangat besar, karena selain ayat diturunkan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, juga adanya nabi sebagai penafsir ayat-ayat yang kurang jelas. Sehingga para sahabat yang tidak paham dapat bertanya langsung kepada nabi.
2.      Tafsir Kontemporer/Modern
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka tafsir kontemporer menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan oleh pemakainya, sehingga ia akan berusaha menggunakan yang lebih baru. Sehingga keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran kontemporer dalam Al-Qur’an mutlak diperlukan.[3]


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 143
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an fungsi dan wahyu dalam kehidupan masyarakat , (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
[3] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakrta: Teras, 2005), hlm. 51

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting