Minggu, 28 April 2013

Dibalik Bacaan Basmalah


Ada seorang perempuan tua yang taat beragama, tetapi suaminya seorang yang fasik dan tidak pernah berbuat kebajikan.

Perempuan itu senantiasa membaca Bismillah setiap kali hendak memulai sesuatu.

Suaminya tidak suka dengan sikap istrinya itu dan senantiasa mengolok-oloknya. Tetapi istrinya tidak pernah meladeninya. Sebaliknya, dia selalu berdoa agar Allah SWT memberikan hidayah kepada suaminya.

Suatu hari suaminya berkata dalam hati, “Akan aku buat kamu kecewa dengan bacaan-bacaanmu itu.”

Untuk memulai aksinya, sang suami memberikan sebuah perhiasan kepada istrinya sambil berkata, “Simpan emas ini.”

Istrinya mengambil perhiasan itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Namun, suaminya mengetahui tempat di mana perhiasan itu ditaruh.

Beberapa waktu kemudian, dengan diam-diam, sang suami mengambil perhiasan tersebut dan membuangnya ke tengah laut.

Setelah beberapa hari kemudian sang suami memanggil istrinya dan berkata, “Mana perhiasan yang dulu aku titipkan kepadamu?”

Sang istri pun pergi ke tempat dia menyimpan perhiasan dan diikuti oleh suaminya.

Dengan berhati-hati, sang istri membuka almari dengan membaca, “Bismillaahirrohmaanirrohiim.”

(Saat itulah Allah SWT menyuruh Malaikat Jibril AS menyelam ke dasar laut untuk mengambil perhiasan tersebut dan menaruhnya kembali ke tempatnya semula).

Sang istri pun lantas mengambil perhiasan itu dan diserahkan pada suaminya.

Alangkah terperanjat sang suami...!!!

Dia merasa bersalah dan mengakui semua perbuatannya.

Seketika itu juga sang suami bertaubat dan mulai mengerjakan perintah Allah. Dia juga senantiasa membaca Bismillah apabila hendak memulai suatu pekerjaan.


Kisah ini dapat Anda lihat di dalam Kitab Uquud al-Lujjayn karya SyaikhMuhammad Nawawi

Senin, 22 April 2013

PENGERTIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani ajaran agama Islam dengan disertai dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud persatuan dan kesatuan bangsa (Kurikuluim PAI, 3: 2002)
Zakiyah Darajat (1987: 87) mengemukakan bahwa esensi pendidikan yaitu adanya proses transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi tua ke generasi muda agar generasi muda mampu untuk hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut adanya pendidikan agama Islam, maka akan mencakup dua hal, yaitu:
1. Mendidik siswa untuk berprilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam
2. Mendidik siswa-siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam, berupa pengetahuan tentang Islam.
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenangkan tentang pendidikan agama seperti; Islam diajarkan lebih pada hafalan, padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang harus diperaktekkan. Pendidikan Islam lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara agama dengan Tuhan-Nya; penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan. Hal ini diukur dari penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas yang dapat di demonstrasikan oleh siswa.
Jadi pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atas pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari pengertian tersebut dapat ditemukan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan Agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
2. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengmalan terhadap ajaran agama Islam.
3. Pendidik pendidikan agama Islam (GPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
4. Pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, yang disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial. Dalam arti kesalehan pribadi itu diharapkan mampu memancarkan ke luar dalam hubungan keseharian dengan manusia lain baik seagama ataupun yang tidak seagama, serta dalam berbangsa dan bernegara sehingga dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional dan bahkan ukhuwah Islamiah.

Sumber: www.majalahpendidikan.com


Minggu, 21 April 2013

Apakah Anda Belajar Untuk Lulus Atau Belajar Untuk Kehidupan?

Ladies, beberapa waktu lalu, sebuah video pidato dari Erica Goldson di Youtube menjadi begitu fenomenal. Ini menjadi semacam 'pidato pengakuan' yang dilakukan siswi terbaik di sekolahnya itu. Vemale akan mengulas sejenak pada Anda.
Ladies, sejak kecil kita dididik untuk mau belajar. Semakin rajin mengerjakan pe-er, rajin belajar dan mendapat nilai yang bagus saat ulangan, maka kita dinilai 'bagus'. Namun seringkali kita lupa pada hakekat 'belajar' itu sendiri. Itulah yang dirasakan oleh Erica.
Dalam pidatonya yang seharusnya menjadi momen membanggakan itu, Erica mengakui bahwa dirinya takut. Mengapa?
Erica memang adalah siswi terpandai di sekolahnya. Ia memang selalu mendapatkan nilai terbaik dan seharusnya bisa bangga dengan dirinya saat mengucapkan pidato tersebut. Namun setelah direnungkan, ia mengakui bahwa dirinya tidaklah lebih pintar dari teman-temannya.
Selama ini Erica hanya menjalankan apa yang diperintahkan padanya. PR, ulangan, dan aturan sekolah. Ia hanya mengikuti aturan tersebut begitu saja agar ia terhindar dari hukuman, tidak lulus dan formalitas lainnya. Kenyataan ini mungkin menunjukkan betapa rajin dan tertibnya Erica. Setelah ini ia akan lulus, mendapatkan ijazah dan siap bekerja.
Namun Erica adalah seorang manusia yang berpikir dan mencari pengalaman hidup, bukan pekerja. Menurutnya pekerja adalah orang yang terjebak dalam rutinitas dan sistem yang mengatur serta membatasi mereka.
"Sekarang, saya telah berhasil menunjukkan kalau saya adalah budak terpintar. Saya melakukan apa yang disuruh kepadaku secara ekstrim baik. Di saat orang lain duduk melamun di kelas dan kemudian menjadi seniman yang hebat, saya duduk di dalam kelas rajin membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat." ujar Erica.
Semua rutinitas pendidikan formal yang ia jalani membuatnya terbiasa untuk tekun, namun tidak terbiasa untuk menyadari 'pelajaran' yang sebenarnya. Hal inilah yang membuatnya takut untuk melangkah setelah kelulusan tiba.
Dalam pidatonya, ia nampak menyesali karena semasa sekolah ia seperti tidak 'hidup'. Saat temannya lupa mengerjakan PR karena sibuk mengerjakan hobi mereka, Erica memang sudah siap dengan PR yang tuntas dikerjakan. Saat teman-temannya membuat lirik lagu, Erica memang sudah memiliki catatan pelajaran atau bahkan mengambil ekstra SKS.
Karena sibuk belajar, Erica tak sempat memikirkan hobi dan hal apa yang diinginkannya. Ia pun belajar hanya demi lulus, bukan sebenar-benarnya belajar untuk mempersiapkan hidup di masa depan. Hal inilah yang menjadi pengakuan terpendam Erica, betapa rutinitas sekolah ternyata membuatnya kini terhenyak bahwa ia hanya belajar untuk lulus.
Pidato Erica ini memberikan pelajaran bagi kita yang belajar, kita yang akan membelajari dan kita yang akan memiliki anak-anak kita nantinya. Semua orang memang butuh berprestasi, butuh bekal teori, namun jangan lupa untuk memenuhi bekal hidup.
Masa muda adalah masa yang baik untuk memiliki impian, memiliki apa yang Anda inginkan dan berusaha mewujudkannya. Jangan terjebak dalam rutinitas sekolah yang memenjarakan, namun imbangi dengan kehidupan sosial dan kehidupan untuk Anda sendiri. 

So, jalan kehdupan kita adalah milik kita.meskipun takdir Allah selalu menyertai kita. Allah tidak akan merubah kehidupan siapaun yang tidak mau berusaha. kerjar impian dan keinginan yang ingin kita capai segigih mungkin sehingga kita dapat menggapainya dengan sempurna. MAN JADDA WA JADDA! Allah selalu menyertai kesungguhan kita. semoga sukses untuk kita.

PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN


Sebelum membahas tentang bagaimana pendekatan pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam terlebih dahulu di uraikan beberapa definisi humas itu sendiri. Istilah hubungan masyarakat (Humas) dikemukakan pertama kali oleh presiden Amerika serikat Thomas Jefferson tahun 1807.

Menurut Glennand Denny Griswold (1966) secara singkat dijelaskan bahwa humas merupakan fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap publik, penyesuaian prosedur instansi atau organisasi dengan kepentingan umum, menjalankan suatu progam untuk mendapatkan pengertian dan dukungan masyarakat.

Dalam bukunya: Scool Public Relations, Kindred Leslie mengemukakan: bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu proses komunikasi antara sekolah dan masyarakat tentang kebutuhan dari praktek pendidikan serta mendorong minat dan kerja sama para anggota masyarakat dalam rangka usaha memeperbaiki sekolah.

Dari beberapa definisi tersebut diatas, mengandung sebuah pemahaman bahwa dalam pelaksanaannya pendekatan dan teknik pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam mengandung beberapa unsure. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
a. Humas merupakan filsafat manajemen yang bersifat social, yaitu humas merupakan filsafat sosial dari manajemen yang meletakkan kepentingan masyarakat lebih dulu pada segala sesuatu yang berkenaan dengan prilaku organisasi atau lembaga. Contoh: dalam sebuah lembaga sekolah bahwa tujuan utama sekolah bukan hanya untuk menguntungkan lembaga sekolah saja, akan tetapi juga untuk menguntungkan siswa dan orang tua siswa serta masyarakat yang ada
b. Humas adalah suatu keputusan kebijaksanaan, yaitu setiap lembaga pada hakekatnya memiliki kebijaksanaan-kebijaksanaan yang harus diikuti dalam kegiatannya. Penciptaan kebijaksanaan ini merupakan tanggung jawab pokok dari pemimpin.

c. Humas adalah komunikasi dua arah, unsur dasar humas yang selanjutnya adalah komunikasi dua arah (two-way communications). Melalui kesamaan dalam mendengarkan opini publiknya, dan kepekaan dalam menginterpretasikan setiap kecenderungan kegagalan dalam komunikasi, mengevaluasi, serta mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan untuk mengubah sifat, pendekatan, dan penekanan setiap fase kebijaksanaannya.

Selain beberapa unsur diatas, ada beberapa unsure yang terlibat dalam humas suatu lembaga pendidikan. Inilah beberapa unsur yang terlibat dalam humas suatu lembaga pendidikan , yaitu:
Pertama sekolah: sebagai pusat pendidikan formal. Sekolah lahir dan berkembang dari pemikiran efisiensi dan aktivitas didalam pemberian pendidikan kepada warga masyarakat. Lembaga pendidikan formal atau persekolahan adalah kelahiran dan pertumbuhannya dari dan untuk masyakat bersangkutan artinya adalah sekolah sebagai pusat kegiatan pendidikan formal merupakan perangkat masyarakat yang diserahi kewajiban pemberian pendidikan. Sekolah merupakan lembaga sosial yang tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat oleh karena itu segala bentuk tujuan sekolah kesemuanya harus diarahkan kepada pembentukan corak pribadi dan kemampuan warga masyarakat sebagaimana target dan sasaran pendidikan di masyarakat tersebut.
Kedua Orang tua murid: Hubungan sekolah dan orang tua murid hendaknya dibawa kedalam hubungan yang konstruktif dengan program sekolah. Hubungan antara keduanya harus saling mendukung.

Ketiga Murid dan Guru: Murid adalah unsur sekolah yang sangat penting begitu pula seorang guru. Tugas seorang guru tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu pengetahuannya kepada anak didik saja akan tetapi harus memperhatikan tingkah laku, perbuatan, pergaulan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan murid.

Pelaksanaan kegiatan humas ditilik dari jenis sasarannya terdiri atas dua bagian, yakni humas dengan masyarakat internal dan dengan masyarakat eksternal lembaga pendidikan. Masyarakat internal terdiri atas guru, pegawai keseluruhan, dan peserta didik. Adapun masyarakat eksternal yakni orangtua, Komite Sekolah, masyarakat sekitar, sekolah lain, dunia kerja, dan instansi lainnya. Humas yang ditujukan kepada masyarakat internal bertujuan menjelaskan kebijakan sekolah, menampung saran, dan memelihara hubungan harmonis atau kerjasama antar warga. Humas yang ditujukan masyarakat eksternal bertujuan untuk memperoleh pengertian atau simpati masyarakat, memperoleh bantuan dalam penyelenggaraan program pendidikan, bantuan material, atau fasilitas pendidikan, serta dukungan moral dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.

Jenis kerjasama dalam humas pada lembaga pendidikan terdiri dari dua, yaitu :
1) Jenis kerjasama formal. Diwujudkan dengan pertemuan formal seperti rapat, upacara sekolah, penerbitan brosur atau pamflet, surat dinas, dan lain-lain
2) Jenis kerjasama informal. Diwujudkan dengan pertemuan informal seperti pembicaraan biasa, pertemuan yang sifatnya kekeluargaan, informasi lisan, dan lain-lain. Dalam penyelenggaraannya, kegiatan humas memerlukan media pendukung, baik visual, audio, maupun audio visual.

Adapun cara pendekatan pelibatan masyarakat dalam humas pendidikan Islam yang perlu diperhatikan secara persuasif artinya dengan teratur dan perlahan-lahan di sesuaikan dengan kondisi masyarakat. Atas dasar itu maka ada beberapa hal yang dapat ditempuh:
1) Pertemuan dari hati ke hati
2) Perkunjungan rumah
3) Laporan kemajuan belajar kepada orang tua
4) pertemuan kelompok, seperti
a. Tatap Muka
b. tukar menukar pengalaman
c. diskusi bersama.





Rabu, 17 April 2013

LATAR BELAKANG MUNCULNYA TAFSIR KONTEKSTUAL


Metodologi tafsir kontekstual Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia  Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan  ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan  membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama  pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,  penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan  antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.  Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau  makna  suatu  pernyataan Al-Qur’an,  dengan  mengkaji  situasi  atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik  dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis  yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan.  Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan yang pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[1] Metodologi tafsir Rahman tidak bias lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia  Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan  ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan dengan  membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama  pada bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,  penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai gerakan  antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.  Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau  makna  suatu  pernyataan Al-Qur’an,  dengan  mengkaji  situasi  atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik  dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan rationes logis  yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan.  Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan yang pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[2]


[1] Islamlib. Com/Id/Komentar Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas. (diakses pada tanggal 15 Desember 2008)
[2] Islamlib. Com/Id/Komentar Al-Qur’an dan Tantangan Modernitas. (diakses pada tanggal 15 Desember 2008)

PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


Kajian Al-Qur’an pada salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai furqan. Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka Al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Pengertian tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.[1]
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat kompleksnya persoalan-persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.[2] Meskipun demikian, upaya penafsiran Al-Qur’an tetap dilakukan karena disamping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari nabi sendiri sebagai pengemban amanat.
Sejarah mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembngan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat para sahabat bertanya kepada nabi tentang ketidakpahaman tentang salah satu ayat, pada saat itu juga nabi langsung menjawabnya.
Penafsir Al-Qur’an yang pertama adalah nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, ulama salam, ulama khalaf, hingga para penafsir kontemporer. Masing-masing penafsir itu tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena situasi dan kondisi pada masing-masing waktu sangat berbeda. Meskipun ini ditolak oleh hermes dengan teori hermeneutikanya, yaitu bahwa yang paling berwenang dalam menafsirkan informasi dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia adalah pemakainya, yaitu manusia itu sendiri yang disesuaikan dengan konteks yang terjadi pada saat itu.
Berdasarkan masanya, tafsir kontekstual terbagi menjadi dua bagian yaitu tafsir klasik dan tafsir kontemporer/modern.
1.      Tafsir Klasik
Masa yang paling klasik pada penafsiran adalah pada masa nabi masih hidup dengan tatanan kehidupannya. Al-Qur’an diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang pada saat itu. Artinya Asbabun an Nuzulnya Al-Qur’an disesuaikan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Tentunya pada periode ini tidak banyak menimbulkan permasalahan yang sangat besar, karena selain ayat diturunkan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, juga adanya nabi sebagai penafsir ayat-ayat yang kurang jelas. Sehingga para sahabat yang tidak paham dapat bertanya langsung kepada nabi.
2.      Tafsir Kontemporer/Modern
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka tafsir kontemporer menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan oleh pemakainya, sehingga ia akan berusaha menggunakan yang lebih baru. Sehingga keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran kontemporer dalam Al-Qur’an mutlak diperlukan.[3]


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 143
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an fungsi dan wahyu dalam kehidupan masyarakat , (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
[3] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakrta: Teras, 2005), hlm. 51

SEJARAH PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


Kajian Al-Qur’an pada salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai furqan. Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka Al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Pengertian tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.[1]
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat kompleksnya persoalan-persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.[2] Meskipun demikian, upaya penafsiran Al-Qur’an tetap dilakukan karena disamping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari nabi sendiri sebagai pengemban amanat.
Sejarah mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembngan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat para sahabat bertanya kepada nabi tentang ketidakpahaman tentang salah satu ayat, pada saat itu juga nabi langsung menjawabnya.
Penafsir Al-Qur’an yang pertama adalah nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, ulama salam, ulama khalaf, hingga para penafsir kontemporer. Masing-masing penafsir itu tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena situasi dan kondisi pada masing-masing waktu sangat berbeda. Meskipun ini ditolak oleh hermes dengan teori hermeneutikanya, yaitu bahwa yang paling berwenang dalam menafsirkan informasi dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia adalah pemakainya, yaitu manusia itu sendiri yang disesuaikan dengan konteks yang terjadi pada saat itu.
Berdasarkan masanya, tafsir kontekstual terbagi menjadi dua bagian yaitu tafsir klasik dan tafsir kontemporer/modern.
1.      Tafsir Klasik
Masa yang paling klasik pada penafsiran adalah pada masa nabi masih hidup dengan tatanan kehidupannya. Al-Qur’an diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang pada saat itu. Artinya Asbabun an Nuzulnya Al-Qur’an disesuaikan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Tentunya pada periode ini tidak banyak menimbulkan permasalahan yang sangat besar, karena selain ayat diturunkan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, juga adanya nabi sebagai penafsir ayat-ayat yang kurang jelas. Sehingga para sahabat yang tidak paham dapat bertanya langsung kepada nabi.
2.      Tafsir Kontemporer/Modern
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka tafsir kontemporer menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan oleh pemakainya, sehingga ia akan berusaha menggunakan yang lebih baru. Sehingga keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran kontemporer dalam Al-Qur’an mutlak diperlukan.[3]


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 143
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an fungsi dan wahyu dalam kehidupan masyarakat , (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
[3] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakrta: Teras, 2005), hlm. 51

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN MASA TURKI USTMANI


Awal dari terbentuknya pendidikan yang dimulai dari halaqah-halaqah kemudian seiring dengan berkembangnya jaman pada akhirnya mendirikan sebuah tempat yang fungsinya sebagai pengganti dari halaqah, tidak lain adalah merupakan salah satu bentuk perkembagan pendidkan pada masa Turki Utsmani. Disamping itu ada pengembagan mata pelajaran yang sesuai dengan keadaan pada waktu itu.
Mulai dari administrasi personil sekolah yang dimaksud adalah pegawai atau karyawan yang bertugas menjalankan program sekolah. Sesuai yang dimaksud disini adalah seorang mudarris atau guru yang bertugas sebagai karyawan sekaligus merangkap sebagai pimpinan tiap-tiap bangunan.
Sedangkan administrasi kurikulum, yang dimaksud adalah bahan ajar atau kumpulan bermacam-macam mata pelajaran.[1] Dengan demikian maka administrasi kurikulum di Turki Utsmani seara rinci yaitu:
1)    Rencana pelajaran Kuttab (pendidikan dasar), meliputi sains, tata bahasa Arab, logika, ilmu ukur, ilmu agama dan retorik.
2)   Rencana pelajaran tingkat menengah, meliputi ilmu pengetahuan, fiqh, dan analisa al-Qur’an atau Tafsir.
3)      Rencana pelajaran tingkat tinggi, meliputi ilmu hokum, ilmu agama, dan retorika.
4)  Pelajaran tambahan sifatnya umum, meliputi kaligrafi, tata bahasa Arab, retorika, sya’ir, ilmu pengetauan logika, filsafat, ilmu perbintangan, ilmu analisa al-Qur’an/tafsir, doktrin iman, sejarah nabi dan sahabat nabi, dasar hukum Islam, Jurisprudensi/fiqh, seperti halnya ilmu agama dan etika.
Administrasi sarana dan prasarana pendidikan yaitu alat tidak langsung maupun langsung untuk mencapai tujuan seperti bangunan sekolah, ruangan, buku dan perpustakaan.[2] Madrasah Turki Utsmani mempunyai beberapa bangunan yang terpisah dengan masjid yang dijadikan sebagai ruang-ruang kelas dengan tingkat yang berbeda-beda.
Bagian sarana dan prasarana ini terdapat sistem waqaf yang sangat membantu dalam pengelolaan madrasah. Dengan sitem tersebut maka kebutuhan baik berupa biaya operasional sekolah maupun upah karyawan atau guru/mudarris dapat terakomodir dengan baik.
Sedangkan administrasi pada siswa, yaitu pengelolaan data siswa dan hal-hal yang bersifat pengembangan. Pada madrasah Turki Utsmani secara rinci tidak dijelaskan bagaimana pendataan siswa, tetapi dengan melihat gambaran data yang menjelaskan bahwa adanya standar nilai dan juga adanya tingkatan-tingkatan dalam pelajaran, selain itu juga bentuk pengembangan siswa pada masa itu bersifat praktis, yaitu bagi siwa yang berprestasi maka siswa itu ditunjuk oleh gurunya untuk mengajar di kelas bawahnya sebagai asisten pengajar.
Sampai pada akhirnya sampai dengan tahun 1924 pendidikan modern, di luar beberapa sekolah militer, hampir terbaas pada masyarakat minoritas non-muslim bagi masyarakat muslim, pendidikan berarti pendidikan agama.[3]
Sistem pendidikan sangat terpusat, kurikulum, buku bacaan dasn penempatan guru ditentukan oleh Ankara. Metode pendidikan dasar menganut paduan antara sistem Jerman dan Austria, kemudian dicampur dengan ide-ide Amerika, sekolah menengah dilaksanakan dengan system Prancis, sekolah Teknik dengan sistem Belgia semua ini menyulitkan siswa ketika lulus dari satu jenjang dan masuk ke jenjang yang lebih tinggi.



[1] Daryanto, Op., Cit., hlm. 37
[2] Ibid., hlm. 51
[3] Syafiq A. Mughni, Op., Cit., hlm. 160

ADMINISTRASI PENDIDIKAN PADA MASA TURKI USTMANI


Timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia Islam merupakan sebuah pengembangan yang diambil dari sistem pembelajaran dan pendidikan yang berlangsung di masjid-masjid. Sejak awal telah berkembang dan dilengkapi dengan sarana-sarana untuk memperlancar pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung didalamnya.
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di luar masjid adalah:
a)    Halaqah (lingkaran) untuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang didalamnya terjadi diskusi dan perdebatan yang kurang efektif. Disamping mengganggu orang-orang yang didalamnya sedang beribadah, pembelajaran yang seperti ini juga kurang efektif karena kurang adanya fasilitas yang tidak memadai. Keadaan yang seperti ini mendorong pembelajaran yang tadinya menggunakan sistem halaqah (belajar di masjid) akan dirubah ke luar lingkungan masjid.
b)    Berkembangnya ilmu pengetahuan juga, baik dari pengetahuan agama maupun pengetahuan agama, maka diperlukan semakin banyak halaqah-halaqah yang diperlukan. Artinya akan menghabiskan tempat yang sangat banyak dilingkungan masjid. Dengan alasan seperti ini maka akan dipindahkan ke tempat yang lebih layak untuk digunakan sebagai proses belajar mengajar.
Disamping itu juga terdapat faktor-faktor yang lainnya yang menyebabkan para para penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa itu mendirikan sekolah-sekolah yang terpisah dengan masjid. Diantaranya adalah:
1)      Pada masa Turki Utsmani mulai berpengaruh dalam pemerintahan Daulah Abbasiyyah, dan untuk mempertahankan kedudukan dalam pemerintahan, mereka berusahan menarik hati para kaum muslimin pada umumnya dengan jalan memperhatikan pendidikan, pembelajaran dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka berusaha mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat dan dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan.
2)      Selain untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya, mereka mendirikan sekoalah karena ingin mendapatkan ampunan dari Allah. Para pembesar Negara pada masa itu, dengan kekayaannya, banyak yang hidup dalam kemewahan dasn sering berbuat maksiat. Dengan mendirkan sekolah-sekolah dan membiayaianya, berarti mereka telah mewaqafkan dan membelanjakan harta mereka dijalan Allah.
3)  Para pembesar Negara pada masa itu dengan kekayaannya telah berhasil mengumpulkan harta kekayaannya. Mereka khawatir jika tidak diwariskan kepada anak cucunya yang nantinya akan menjadi terlantar dan kekurangan pendidikan. Untuk menghindari hal tersebut, mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilengkapi dengan asrama-asrama dan dijadikan sebagai waqaf keluarga.
4) Disamping itu, didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dan para petinggi Negara yang besangkutan. Dalam mendirikan madrasah ini mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran-aliran keagamaan tertentu. Dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang dalam masyarakat.[1]
Dengan berbagai alasan apapun jelas bahwa dengan berkembangnya pendidikan yang dalam hal ini adalah madrasah, karena kaum muslimin telah mendapatkan kesempatan yang banyak untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas.
Dengan begitu sangat jelas bahwa pemerintah akan kebutuhan kepada pendidikan untuk masyarakatnya menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah Turki Utsmani. Selain itu juga secara terperinci sistem dalam bidang pendidikan merupakan basis dasar bagi Institusi pendidikan yaitu sistem pendidikan yang mengorganisir sekolah dasar di sekitar masjid, dengan memberikan pelajaran religius yang bersifat elementer kepada rakyat jelata, kemudian institusi yang lebih tinggi lagi jangan melatih siswa baru guna memasuki tingkat yang lebih tinggi. Dengan begitu pada masa kerajaan Turki Utsmani sudah memberlakukan tingkatan-tingkatan dalam studi pendidikan hal ini tellihat pada penjelasan lain dari Stamford, yaitu:
a)  Kelas Kharij (luar) atau elementary, madrasah menyajikan pelatihan dasar mengenai hal-hal paling mendasar dari sains, tata bahasa Arab, logika, ilmu ukur, ilmu agama, dan retorik.
b)    Kelas dakhil (dalam) atau intermediet, madrasah menyajikan pelatihan khusus ilmu pengetahuan, fiqh, dan analisa al-Qur’an atau Tafsir.
c)     Sekolah lanjutan membentuk tingkatan yang paling tinggi dalam komplek sekolah. Dari sekolah lanjutan ini para guru mulai menerima upah bagi guru yang terbaik.
d)  Tingkatan yang paling tinggi, yaitu siswa ditempatkan di kompleks suleymaniye, dimana para siswa menerima pelatihan khusus mungkin yang paling tinggi, terutama mengenai hukum, ilmu agama dan retorika.   
Madrasah Utsman yang pertama dibangun oleh Orhan di daerah Iznik pada tahun 1331 M. Madrasah tersebut bertahan selama beratus-ratus tahun sepanjang kerajaan Utsmani berkuasa sampai abad ke-16.
Adapun materi yang disampaikan secara umum adalah semua cabang pelajaran Islam. Diantaranya adalah kaligrafi, tata bahasa Arab, retorika (Balaghah), puisi atau sya’ir dan ilmu pengetahuan logika, filsafat, ilmu perbintangan, ilmu tafsir, dokttrin iman, sejarah nabi dan sahabat nabi, dasar hukum Islam, dan jurisprudensi, seperti ilmu agama dan etika.
Pelajaran-pelajaran tersebut akan diberikan secara bertingkat sesuai dengan tingkat masing-masing siswa. Hal ini disepakati bersama seandainya dasar-dasar ilmu agama dijadikan sebagai materi utama. Karena akan sangat membantu terbentuknya pendidikan yang bernuansa Islam. Juga tidak lupa ilmu-ilmu yang yang bersifat tambahan, seperti kedokteran, matematika, dan ilmu-ilmu eksak lainnya.
Adapun sumber dana yang digunakan untuk membiayai anggaran pendidikan itu semua yaitu dengan cara pemberlakuan sistem waqaf. Dengan demikian semua bentuk bangunan mulai dari rumah sakit, gedung dan institusi lainnya yang dibangun disekitar masjid semuanya disokong oleh sistem waqaf tersebut. Sejak masa kekaisaran Turki Utsmani, wakaf telah menghidupi berbagai pelayanan publik, bangunan seni dan budaya, termasuk yang remeh temeh, seperti wakaf untuk pemeliharaan burung-burung di musim dingin. Tidak dipungkiri, wakaf Turki pernah menangguk masa-masa keemasan, seperti yang tercermin dari berbagai sekolah, masjid, gedung seni, gedung budaya, rumah sakit, perpustakaan, kompleks komersial, hotel, dan sebagainya, yang dapat ditemukan hingga kini sebagai "monumen hidup".[2]
Sedanglam operasionalnya yaitu masing-masing madrasah diarahkan oleh mudarris sedangkan dana itu diserahkan oleh pengurus waqaf untuk memelihara bangunan itu, mengadakan para pelayan, memilih dan membayar para siswa untuk ditunjuk sebagai asistennya untuk mengulangi dan menjelaskan kepada para siswa yang lain. Para siswa juga telah dibayar gaji dan diberi tempat penginapan dan makanan secara cuma-cuma didalam madrasah atau bangunan yang bersebelahan dengan dalam kompleks yang sama. tentang perwakafan.
Sistem administrasi pada masa itu sudah tertata dengan sedemikian rupa sehingga terlihat sangat terstruktur, antara bagian yang satu dengan bagian yang lain. Artinya administrasi pendidikan pada jaman Turki Utsmani sudah sangat tertata dengan rapi.


[1] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm.100-101.
[2] Fai. Uhamka. ac.id/post.php?idpost. (diakses pada tanggal 17 Nopember 2008) 

PUNCAK KEJAYAAN TURKI USTMANI


Kerajaan Turki Utsmani mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sulaiman, pada abad ke-16. penaklukan Afrika Utara terjadi pada masa itu. Seluruh Afrika Utara kecuali Maroko berhasil dijadikan bagian dari kerajaan. Wilayah kekuasaan kerajaan melebar dari Budapes sampai ke Yaman, mulai dari Bagdad sampai ke Alljazair, yang pada waktu itu Negara Aljazair kebanyakan penduduknya merupakan keturunan Numidia dari Romawi dan menjadi Negara yang pertama karam.
Kerajaan Utsmani tidak banyak mengembangkan banyak ilmu pengetahuan, namun mereka menonjol dalam bidang kemiliteran, Ilmu pengetahuan dan budaya dan agama.[1]
1. Bidang Militer
            Pembaharuan dalam tubuh organisasi militer oleh orkhan, tidak hanya dalam bentuk mutasi personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
2.      Bidang Pengtahuan Ilmu dan Budaya
Kebudayaan Turki Utsmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudayaan diantaranya adalah kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Dari kebudayaan Persia mereka banyakmengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja. Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium. Sedangkan ajaran-ajaran tentang prinsip ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan dan huruf mereka terima dari bangsa Arab.[2]
Disisi lain di wilayah Turki banyak munculnya kebudayaan yang baru pada abad ke-17. pada abad ini kebudayaan yang menonjol adalah penyair yang bernama Nefi’. Pada abad yang sama juga muncul karya epik Islam terbesar seyahatname (Buku Perjalanan) oleh Elvia Celebi (1614-1682).[3] Lahir di Istambul pada tahun 1614, Elvia mengatakan bahwa keluarganya diam di Kutahnya bahkan sebelum kerajaan Utsmani, pindah ke Istambul sebagai bagian dari usaha Muhammad II untuk membangun kota setelah penaklukkan. Dalam bidang seni, hampir semua semua Sultan di Turki mempunyai minat yang sanga besar. Seperti Jalaluddin Ar-Rumi. Atas jasa beliaulah seni bersyair berkembang di Dunia Islam, khususnya pada masa Daulah Turki Utsmaniyah.[4]
Dalam kebudayaan bidang arsitektur, Daulah Utsmaniyah mempunyai mazhab tersendiri yang disebut dengan gaya Utsmaniyah. Gaya ini muncul ketika Utsmaniyah dapat mengalahkan kerajaan Byzantium. Pertemuan arsitektur Byzantium dengan Turki Utsmaniyah itu telah melahirkan suatu gaya yang baru.[5] Perwujudannya adalah dalam bentuk qubah setengah lingakaran denga pilar-pilar yang besar sebagaimana terlihat pada bentuk qubah masjid-masjid yang ada di Inonesia.
Orang-orang Turki Utsmani memang dikenal dengan sebagai bangsa yang suka dan mudah berasimilasi dengan bangsa asing dan terbuka untuk menerima kebudayaan luar. Hal ini yang menyebabkan bangsa Turki yang menyebabkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan bangas Turki berkembang dengan pesat. Disamping bangsa Turki pada waktu itu adalah bangsa yang sangat miskin dengan kebudayaan.
3.      Bidang Keagamaan
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan yang sangat besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat digolong-golongkan berdasarkan agama dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syari’at, sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku.[6]
Pada masa Turki Utsmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang adalah tarekat Bektasyi dan tarekat Maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh kalangan sipil dan militer. Karena para kalangan sipil dan militer banyak menganut tarerkat Bektasyi, sehingga mereka disebut tentara Bektasyi.
Setelah Sultan Sulaiman meninggal dunia, terjadilah perebutan kekuasaan antara putra-putranya, hal ini yang menjadikan kerajaan Turki Utsmani mengalami kemunduran. Akan tetapi meskipun mengalami kemunduran, kerajaan ini untuk masa beberapa abad masih dipandang sebagai Negara kuat. Namun secara pemerintahan atau politis, terdapat kebaikan atau kejelekan pemerintahan Utsmani. Yaitu:
a)      Perluasan wilayah Islam diantaranya konstantinopel.
b)      Menghadapai perang Salib dari berbagai fron seperti mendatangi Andalusia untuk mengurangi tekanan Nasrani, mengusir keberadaan Portugis di negeri muslim, menghadapi Spanyol yang akan merebut Maroko setelah Andalusia lemah.
c)      Menentang Zionisme-pemerintahan Yahudi.
d)     Berhasil menaklukkan Syi’ah Rafidlah dalam pemerintahan safawi.
e)      Mengencarkan dakwah Islam banyak orang Eropa dan Afrika masuk Islam karenanya.
f)       Melindungi Negara Islam dari tangan penjajah dengan keberadaan tentara Utsmani di dalamnya.
g)      Menguasai Negara-negara Islam yang luasnya kira-kira mencapai 20 juta km2.[7]
Begitu banyaknya wilayah jajahan kerajaan Utsmani, kerajaan tersebut banyak menerima pengaruh dari luar. Hal ini terlihat pada sistem pemerintahannya yaitu “monarki absolute” yang diterapkannya dari Persia. Kebiasaan melakukan perang merupakan pengaruh Asia tengah. Konsep pemerintahannya berasal dari Romawi Timur, huruf, Ilmu pengetahuan dan agamanya berasal dari Arab. Maka dari itu orang Arab dimata orang Utsman sama dengan orang Yunani dimata orang Roma.[8]
Hubungan antara Islam dengan kerajaan Utsmani mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh orang dewasa ini. Bendera kerajaan Utsmani bergambar bulan sabit dan bintang. Banyak Negara muslim lainnya kemudian menggunakan bendera bergambar yang sama dengan bendera kerajaan Utsmani. Benda kerajaan yang paling dibanggakan oleh istana topkali adalah mantel dan tongkat Rasulullah yang dibawa oleh Sultan Salim dari Kairo pada tahun1517.


[1] Istianah Abu Bakar, Op. Cit.,hlm. 128
[2] Badri Yatim, Op. Cit.,hlm. 136
[3] Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 88-89
[4]  Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 244
[5] Ibid., hlm. 245
[6] Badri Yatim, Op. Cit.,hlm. 137
[7] Istianah Abu Bakar, Op. Cit.,hlm. 129
[8] Akbar S. Ahmed. Dkk. Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologis, (Jakarta: Erlangga, 1992), hlm. 72

SEJARAH BERDIRINYA TURKI USTMANI


Kemunculan kerajaan Utsmani setidaknya perlu memahami dua hal, yaitu: (1) sosok yang mempunyai andil dalam pendirian kerajaan Utsmani, (2) proses terbentuknya kerajaan Utsmani.[1]
Kerajaan Utsmani didirikan oleh bangsa Turki dari kabilah Oghuz. Sekitar abad kesembilan atau kesepuluh mereka masuk Islam.[2] Setelah mereka menetap di Asia Tengah tepatnya pada abad ke-13 M mereka terpaksa melarikan diri dari serangan-serangan mongol ke daerah barat dan mencari pengungsian di tengah saudara-saudara mereka, orang-orang Turki Seljuk, di dataran tinggi Asia kecil. Di bawah pimpinan Arthagol, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II selaku Sultan Seljuk yang kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan dan kerjasama keduanya Sultan Alauddin  mendapatkan kemenangan. Atas jasa baik itu, Sultan Alauddin menghadiahi sebidang tanah di Asia kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu mereka terus membina wilayah barunya dan memilih kota Syukud sebagai Ibu kota.[3]
Arthagol meninggal dunia pada tahun 1289 M. kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Utsman. Putra Arthagol inilalah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Utsmani. Utsman memerintah antara tahun 1290 M dan 1326 M. Sama halnya dengan ayahnya, ia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessea. Pada tahun 1300, bangsa Mongol menyerang kerajaan Seljuk dan Sultan Alauddin terbunuh. Sejak itulah kerajaan Seljuk kemudian menjadi terpercah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Utsmanpun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang dihuninya. Sejak itulah kerajaan Utsmani dinyatakan berdiri dan dipimpin oleh Utsmani.[4]
Tidak salah jika sejarawan Philip K. Hitti menyatakan bahwa kerajaan Utsmani didirikan di atas keruntuhan kerajaan Seljuk. Karena mereka dapat terlepas dari bayang-bayang kerajaan Seljuk menjadi kerajaan sendiri yaitu kerajaan Turki Utsmani. Pada akhirnya kerajaan ini dapat memperluas wilayahnya setapak demi setapak, terbukti mereka dapat menaklukkan berbagai kota. Seperti kota Broessa, Azmir, Thawasyanti, Uskandar, Ankara, dan Gallipolli. Daerah-daerah tersebut merupakan bagian Eropa yang pertama kali diduduki oleh kerajaan Utsmani.[5]
Negara ini selalu diliputi oleh peperangan dan pada saat itu senantiasa dalam keadaan genting. Ibukota Negara ini, pertama kali didirikan pada tahun 1326, adalah Broessa. Mendekati tahun 1366, Emirat itu telah berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan Adrianopel sebagai Ibukotanya. Penaklukan konstatinopel pada 1453 yang dipimpin oleh Muhammad II, sang penakluk (1415-1481) secara formal mengantarkan Negara ini pada suatu era baru yang disebut dengan era kerajaan.
Raksasa baru ini berdiri mengangkang di Bosporus, satu kakinya di Asia dan kaki lainnya di Eropa. Perluasan wilayah yang ia jadikan tidak hanya pewaris kekaisaran Bizantium, tetapi juga berkat hancurnya kekuatan mamluk mewarisi kekhalifahan Arab. Pewarisan tanah dari Timur dan Barat ini diimbangi dengan pewarisan berbagai pemikiran dan gabungan dari berbagai peninggalan itu merupakan fakta yang paling nyata dalam sejarah Turki Utsmani.[6]
Sehingga sampai sekarang bangsa Turki termasuk dalam bagian dua benua yaitu benua Eropa dan benua Asia. Hal ini disebabkan karena sangat luasnya wilayah kekuasaan Kerajaan Turki Utsmani sehingga mencakup dua benua tersebut.


[1] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam Untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 122
[2] Loc, Cit., hlm. 129
[3] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), hlm. 2
[4] Badri Yatim, Op. Cit.,hlm. 130
[5] Ibid, hlm. 131
[6] Philip K. Hitti, History Of The Arabs Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), 905-906

AGAMA DALAM PENDEKATAN FENOMENOLOGI


Pendekatan Fenomenologi ini dilahirkan oleh sekolompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. pada dasarnya ia berusaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagaia fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Dalam kontek Amerika Utara, kerja Fenomenologi ini biasa dikenal dalam rubric prbandingan agama atau sejarah agama-agama.[1]
Fenomenologi secara harfiah berarti pelajaran mengenai gejala-gejala. Istilah mula-mula dipakai dalam ilmu filsafat pada pertengahan kedua abad 18, dirintis oleh Kant dan Fries, yang meminjam istilahnya Edmund Husserl, yaitu pengembang madzhab filsafat yang bernama fenomenologi filsafat. Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.[2]  Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[3] 
Fenomenologi agama juga bermakana studi suatu agama sebagai suatu sebagai suatu struktur organis dalam suatu periode tanpa memperdulikan asal-usul histories dari kepercayaan dan praktiknya yang beragam, namun lebih memusatkan perhatian pada maknanya bagi pemeluknya. Ia adalah fakta yang semata-mata historis tanpa arti atau nilai diluar sejarah yang mencoba memahami hakikat dari fenomena religius yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur umum suatu fenomena yang mendasari setiap fakta religius.[4] Menggunakan Pendekatan fenomenologi berarti lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.[5]
Kajian ini tidak mengharuskan adanya perbandingan agama antar agama, atau antara ritual, upacara, melainkan mencari esensi yang terkandung dalam setiap ajaran. Dari sini fakta agama akan terungkap berdasarkan kelompok ritual menurut hubungan-hubungan tersebut. Dengan pengertian yang berbeda hasil kajian Fenomenologi agama akan diperoleh pengertian yang berbeda pula tentang agama.
Mengkaji Fenomenologi agama tidak akan terlepas dengan historis agama, sosiologi, antropologi, teologi, filsafat, serta kajian-kajian aga lainnya. Akan tetapi Fenomenologi agama lebih mengacu pada fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan yang diambil berdasarkan berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakannya seperti do’a. prilaku-prilaku tersebut muncul dalam mitos-mitos, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan berkenaan dengan kesucian, makhluk supranatural, dan sebagainya.
Diantara kajian-kajian tersebut, Fenomenologi agama muncul sebagai pelengkap untuk mengungkap hal-hal yang riil dari Fenomenologi agama. Fenomenologi agama mencakup ritual, upacara yang sudah menjadi bagian integral dari agama. Sebab bagaimanapun juga, kegiatan-kegiatan agama tersebut memiliki nilai-nilai agama, walaupun kegiatan tersebut tidak ada dalam konsep dan ajaran agama.
Sedikit ditemukan persamaan antara inti ajaran agama dengan agama yang lain dalam hal pengamalan agama. Kesamaan tersebut mengindikasikan pada adanya satu titik tujuan yang sam, yaitu yang kudus. Setiap pengungkapan dari sebuah ajaran agama brtujuan untuk kepuasan dan penyembuhan. Ketika jiwa merasa membutuhkan penyelesaian dari sebuah masalah penting dalam kehidupan yang tidak dapat dipecahkan oleh sesuatu yang profane. Dengan satunya rasa dan pengalaman tersebut sering menyeret pada konsep penyamaan agama.
Fenomenologi agama mengacu pada prinsip bahwa kesamaan sama pentingnya denga perbedaan antar agama, disamping itu sifat-sifat khusus dan khas dari agam harus dipertahankan. Perbedaan dalam Fenomenologi agama hanya dalam kerangka untuk memperdalam pengertian gejala-gejala religius yang dipelajari dan tidak mengarah pada pembenaran atau penolakan doktrinir.
Menarik fakta-fakta dan fenomena yang sama dan seringkali dijumpai dalam ungkapan-ungkapan, pengalaman agama yang berlainan adalah untuk mendapat gambaran yang konkrit serta suatu pandangan yang lebih dalam tentang ajaran agama. Fenomena agama tidak hanya dilihat dari pertimbangan histories, melainkan juga dalam hubungan struktur agama. Sehingga mengharuskan pembedaan antara sejarah agama dengan sejarah agama tertentu agar tidak terjadi percampuran doktrinir.
Di lain pihak, beberapa Fenomenologi agama menyatakan bahwa Fenomenologi agama tidak berhubungan dengan asal-usul dan perkembangan historis fakta agama. Tentunya pendapat ini perlu dipertimbangkan dan dikaji ulang, sebab hakikat suatu fakta agama dikonstruk oleh sejarah dan sejarah tidak dapat diabaikan dalam manifestasi fakta agama.
Sebagaiamana pendekatan yang lain, meskipun Fenomenologi ini tergolong yang sulit diberikan pengertian, Charles J. Adam menawarkan dua hal yang diperlukan untuk memahami pendekatan Fenomenologi. Pertama Fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara menempatkan diri pada posisi netral. Dalam ungkapan lain, Fenomenologi juga digunakan untuk menerapkan epoche, yaitu metode meletakkan pandangan subyektif peneliti (ke dalam kurung {}) untuk menunjukkan karakter ide dan perasaan orang beriman. Dengan pendekatan ini, seseorang dimungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan dengan mendalam.[6] Kedua sebagai konstruksi skema taksonomis untuk mengklasifikasi fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya dan jaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.[7] 
Dengan caranya itu, fenomenologis dipandang berbahaya karena akan membawa Religionwissenchaft kembali pada persimpangan jalan teologi dan filsafat. Akan tetapi Adam segera memberikan catatan dan tidak dapat diragukan lagi bahwa dengan cara sistematisnya itu fenomenologi bagaiamanapun memiliki validitas dan arti penting, karena pendekatan ini telah mengangkat studi pada level yang ilmiah.


[1] Nur Arifudin, Makalah pendekatan Dalam Studi Keislaman Perspektif Charles J. Adam Tentang Tradisi Keagamaan Islam. Hlm. 11
[2] Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
[3] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
[4] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: kanisius, 1995), hlm. 6
[5] Filsufgaul.wordpress.com/2008/02/04 fenomenologi, (diakses tanggal 6 oktober 2008)
[6] Nur Arifudin, Op.Cit., hlm. 12
[7] Nur Arifudin, Op.Cit., hlm. 12

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting