Rabu, 17 April 2013

AGAMA DALAM PENDEKATAN FENOMENOLOGI


Pendekatan Fenomenologi ini dilahirkan oleh sekolompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. pada dasarnya ia berusaha untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagaia fenomena sejarah yang paling penting dan universal. Dalam kontek Amerika Utara, kerja Fenomenologi ini biasa dikenal dalam rubric prbandingan agama atau sejarah agama-agama.[1]
Fenomenologi secara harfiah berarti pelajaran mengenai gejala-gejala. Istilah mula-mula dipakai dalam ilmu filsafat pada pertengahan kedua abad 18, dirintis oleh Kant dan Fries, yang meminjam istilahnya Edmund Husserl, yaitu pengembang madzhab filsafat yang bernama fenomenologi filsafat. Kant dan Fries mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.[2]  Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[3] 
Fenomenologi agama juga bermakana studi suatu agama sebagai suatu sebagai suatu struktur organis dalam suatu periode tanpa memperdulikan asal-usul histories dari kepercayaan dan praktiknya yang beragam, namun lebih memusatkan perhatian pada maknanya bagi pemeluknya. Ia adalah fakta yang semata-mata historis tanpa arti atau nilai diluar sejarah yang mencoba memahami hakikat dari fenomena religius yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur umum suatu fenomena yang mendasari setiap fakta religius.[4] Menggunakan Pendekatan fenomenologi berarti lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.[5]
Kajian ini tidak mengharuskan adanya perbandingan agama antar agama, atau antara ritual, upacara, melainkan mencari esensi yang terkandung dalam setiap ajaran. Dari sini fakta agama akan terungkap berdasarkan kelompok ritual menurut hubungan-hubungan tersebut. Dengan pengertian yang berbeda hasil kajian Fenomenologi agama akan diperoleh pengertian yang berbeda pula tentang agama.
Mengkaji Fenomenologi agama tidak akan terlepas dengan historis agama, sosiologi, antropologi, teologi, filsafat, serta kajian-kajian aga lainnya. Akan tetapi Fenomenologi agama lebih mengacu pada fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan yang diambil berdasarkan berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakannya seperti do’a. prilaku-prilaku tersebut muncul dalam mitos-mitos, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan berkenaan dengan kesucian, makhluk supranatural, dan sebagainya.
Diantara kajian-kajian tersebut, Fenomenologi agama muncul sebagai pelengkap untuk mengungkap hal-hal yang riil dari Fenomenologi agama. Fenomenologi agama mencakup ritual, upacara yang sudah menjadi bagian integral dari agama. Sebab bagaimanapun juga, kegiatan-kegiatan agama tersebut memiliki nilai-nilai agama, walaupun kegiatan tersebut tidak ada dalam konsep dan ajaran agama.
Sedikit ditemukan persamaan antara inti ajaran agama dengan agama yang lain dalam hal pengamalan agama. Kesamaan tersebut mengindikasikan pada adanya satu titik tujuan yang sam, yaitu yang kudus. Setiap pengungkapan dari sebuah ajaran agama brtujuan untuk kepuasan dan penyembuhan. Ketika jiwa merasa membutuhkan penyelesaian dari sebuah masalah penting dalam kehidupan yang tidak dapat dipecahkan oleh sesuatu yang profane. Dengan satunya rasa dan pengalaman tersebut sering menyeret pada konsep penyamaan agama.
Fenomenologi agama mengacu pada prinsip bahwa kesamaan sama pentingnya denga perbedaan antar agama, disamping itu sifat-sifat khusus dan khas dari agam harus dipertahankan. Perbedaan dalam Fenomenologi agama hanya dalam kerangka untuk memperdalam pengertian gejala-gejala religius yang dipelajari dan tidak mengarah pada pembenaran atau penolakan doktrinir.
Menarik fakta-fakta dan fenomena yang sama dan seringkali dijumpai dalam ungkapan-ungkapan, pengalaman agama yang berlainan adalah untuk mendapat gambaran yang konkrit serta suatu pandangan yang lebih dalam tentang ajaran agama. Fenomena agama tidak hanya dilihat dari pertimbangan histories, melainkan juga dalam hubungan struktur agama. Sehingga mengharuskan pembedaan antara sejarah agama dengan sejarah agama tertentu agar tidak terjadi percampuran doktrinir.
Di lain pihak, beberapa Fenomenologi agama menyatakan bahwa Fenomenologi agama tidak berhubungan dengan asal-usul dan perkembangan historis fakta agama. Tentunya pendapat ini perlu dipertimbangkan dan dikaji ulang, sebab hakikat suatu fakta agama dikonstruk oleh sejarah dan sejarah tidak dapat diabaikan dalam manifestasi fakta agama.
Sebagaiamana pendekatan yang lain, meskipun Fenomenologi ini tergolong yang sulit diberikan pengertian, Charles J. Adam menawarkan dua hal yang diperlukan untuk memahami pendekatan Fenomenologi. Pertama Fenomenologi diartikan sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara menempatkan diri pada posisi netral. Dalam ungkapan lain, Fenomenologi juga digunakan untuk menerapkan epoche, yaitu metode meletakkan pandangan subyektif peneliti (ke dalam kurung {}) untuk menunjukkan karakter ide dan perasaan orang beriman. Dengan pendekatan ini, seseorang dimungkinkan dapat memahami hakikat keberagamaan dengan mendalam.[6] Kedua sebagai konstruksi skema taksonomis untuk mengklasifikasi fenomena dengan melintasi batas-batas komunitas agama, budaya dan jaman. Pokok dari aktivitas ini adalah mencari struktur pengalaman keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak mengoperasikan bentuk perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.[7] 
Dengan caranya itu, fenomenologis dipandang berbahaya karena akan membawa Religionwissenchaft kembali pada persimpangan jalan teologi dan filsafat. Akan tetapi Adam segera memberikan catatan dan tidak dapat diragukan lagi bahwa dengan cara sistematisnya itu fenomenologi bagaiamanapun memiliki validitas dan arti penting, karena pendekatan ini telah mengangkat studi pada level yang ilmiah.


[1] Nur Arifudin, Makalah pendekatan Dalam Studi Keislaman Perspektif Charles J. Adam Tentang Tradisi Keagamaan Islam. Hlm. 11
[2] Syamsudin Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
[3] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
[4] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: kanisius, 1995), hlm. 6
[5] Filsufgaul.wordpress.com/2008/02/04 fenomenologi, (diakses tanggal 6 oktober 2008)
[6] Nur Arifudin, Op.Cit., hlm. 12
[7] Nur Arifudin, Op.Cit., hlm. 12

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting