Pendekatan Fenomenologi
ini dilahirkan oleh sekolompok orang yang memiliki perhatian terhadap studi
agama di Eropa pada perempat terakhir abad ke-19. pada dasarnya ia berusaha
untuk mendekati agama secara ilmiah, sebagaia fenomena sejarah yang paling
penting dan universal. Dalam kontek Amerika Utara, kerja Fenomenologi ini
biasa dikenal dalam rubric prbandingan agama atau sejarah agama-agama.[1]
Fenomenologi
secara harfiah berarti pelajaran mengenai gejala-gejala. Istilah mula-mula
dipakai dalam ilmu filsafat pada pertengahan kedua abad 18, dirintis oleh Kant
dan Fries, yang meminjam istilahnya Edmund Husserl, yaitu pengembang madzhab
filsafat yang bernama fenomenologi filsafat. Kant dan Fries
mempergunakan istilah fenomenologi sebagai pelajaran filsafat yang
memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala.[2] Sedangkan fenomenologi secara
terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba
mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak hal tanpa
hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang,
diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang
yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[3]
Fenomenologi
agama juga bermakana studi suatu agama sebagai suatu sebagai suatu struktur
organis dalam suatu periode tanpa memperdulikan asal-usul histories dari
kepercayaan dan praktiknya yang beragam, namun lebih memusatkan perhatian pada
maknanya bagi pemeluknya. Ia adalah fakta yang semata-mata historis tanpa arti
atau nilai diluar sejarah yang mencoba memahami hakikat dari fenomena religius
yang dimengerti dalam arti empiris dari struktur umum suatu fenomena yang
mendasari setiap fakta religius.[4]
Menggunakan Pendekatan fenomenologi berarti lebih memperhatikan pada pengalaman
subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan
individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan
segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti
melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang
dirinya.[5]
Kajian ini
tidak mengharuskan adanya perbandingan agama antar agama, atau antara ritual,
upacara, melainkan mencari esensi yang terkandung dalam setiap ajaran. Dari
sini fakta agama akan terungkap berdasarkan kelompok ritual menurut hubungan-hubungan
tersebut. Dengan pengertian yang berbeda hasil kajian Fenomenologi agama
akan diperoleh pengertian yang berbeda pula tentang agama.
Mengkaji Fenomenologi
agama tidak akan terlepas dengan historis agama, sosiologi, antropologi,
teologi, filsafat, serta kajian-kajian aga lainnya. Akan tetapi Fenomenologi
agama lebih mengacu pada fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan yang
diambil berdasarkan berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan
keagamaan manusia, ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam
tindakan-tindakannya seperti do’a. prilaku-prilaku tersebut muncul dalam
mitos-mitos, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan berkenaan dengan kesucian,
makhluk supranatural, dan sebagainya.
Diantara
kajian-kajian tersebut, Fenomenologi agama muncul sebagai pelengkap
untuk mengungkap hal-hal yang riil dari Fenomenologi agama. Fenomenologi
agama mencakup ritual, upacara yang sudah menjadi bagian integral dari agama.
Sebab bagaimanapun juga, kegiatan-kegiatan agama tersebut memiliki nilai-nilai
agama, walaupun kegiatan tersebut tidak ada dalam konsep dan ajaran agama.
Sedikit
ditemukan persamaan antara inti ajaran agama dengan agama yang lain dalam hal
pengamalan agama. Kesamaan tersebut mengindikasikan pada adanya satu titik tujuan
yang sam, yaitu yang kudus. Setiap pengungkapan dari sebuah ajaran agama
brtujuan untuk kepuasan dan penyembuhan. Ketika jiwa merasa membutuhkan
penyelesaian dari sebuah masalah penting dalam kehidupan yang tidak dapat
dipecahkan oleh sesuatu yang profane. Dengan satunya rasa dan pengalaman
tersebut sering menyeret pada konsep penyamaan agama.
Fenomenologi
agama mengacu pada prinsip bahwa kesamaan sama pentingnya denga perbedaan antar
agama, disamping itu sifat-sifat khusus dan khas dari agam harus dipertahankan.
Perbedaan dalam Fenomenologi agama hanya dalam kerangka untuk
memperdalam pengertian gejala-gejala religius yang dipelajari dan tidak
mengarah pada pembenaran atau penolakan doktrinir.
Menarik
fakta-fakta dan fenomena yang sama dan seringkali dijumpai dalam
ungkapan-ungkapan, pengalaman agama yang berlainan adalah untuk mendapat
gambaran yang konkrit serta suatu pandangan yang lebih dalam tentang ajaran
agama. Fenomena agama tidak hanya dilihat dari pertimbangan histories,
melainkan juga dalam hubungan struktur agama. Sehingga mengharuskan pembedaan
antara sejarah agama dengan sejarah agama tertentu agar tidak terjadi
percampuran doktrinir.
Di lain
pihak, beberapa Fenomenologi agama menyatakan bahwa Fenomenologi
agama tidak berhubungan dengan asal-usul dan perkembangan historis fakta agama.
Tentunya pendapat ini perlu dipertimbangkan dan dikaji ulang, sebab hakikat
suatu fakta agama dikonstruk oleh sejarah dan sejarah tidak dapat diabaikan
dalam manifestasi fakta agama.
Sebagaiamana
pendekatan yang lain, meskipun Fenomenologi ini tergolong yang sulit
diberikan pengertian, Charles J. Adam menawarkan dua hal yang diperlukan untuk
memahami pendekatan Fenomenologi. Pertama Fenomenologi diartikan
sebagai metode memahami agama orang lain dengan cara menempatkan diri pada
posisi netral. Dalam ungkapan lain, Fenomenologi juga digunakan untuk
menerapkan epoche, yaitu metode meletakkan pandangan subyektif peneliti
(ke dalam kurung {}) untuk menunjukkan karakter ide dan perasaan orang beriman.
Dengan pendekatan ini, seseorang dimungkinkan dapat memahami hakikat
keberagamaan dengan mendalam.[6] Kedua
sebagai konstruksi skema taksonomis untuk mengklasifikasi fenomena dengan melintasi
batas-batas komunitas agama, budaya dan jaman. Pokok dari aktivitas ini adalah
mencari struktur pengalaman keagamaan dan keluasan prinsip-prinsip yang tampak
mengoperasikan bentuk perwujudan keberagamaan manusia secara keseluruhan.[7]
Dengan caranya itu, fenomenologis
dipandang berbahaya karena akan membawa Religionwissenchaft kembali
pada persimpangan jalan teologi dan filsafat. Akan tetapi Adam segera
memberikan catatan dan tidak dapat diragukan lagi bahwa dengan cara
sistematisnya itu fenomenologi bagaiamanapun memiliki validitas dan arti
penting, karena pendekatan ini telah mengangkat studi pada level yang ilmiah.
[1] Nur
Arifudin, Makalah pendekatan Dalam Studi Keislaman Perspektif Charles J.
Adam Tentang Tradisi Keagamaan Islam. Hlm. 11
[2] Syamsudin
Abdullah, dkk. Fenomenologi Agama, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 1
[3] M. A. W.
Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995),
hlm. 6
[4] Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: kanisius, 1995), hlm. 6
[5]
Filsufgaul.wordpress.com/2008/02/04 fenomenologi, (diakses tanggal 6 oktober
2008)
[6] Nur
Arifudin, Op.Cit., hlm. 12
[7] Nur
Arifudin, Op.Cit., hlm. 12
0 komentar:
Posting Komentar