Pengertian “thuruq
at-tahammul” adalah cara-cara
menerima hadits dan mengambilnya dari Syaikh. Dan yang dimaksud dengan “bentuk
penyampaian” (Sighatul-Ada’) adalah lafadh-lafadh yang digunakan oleh
ahli hadits dalam meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada muridnya,
misalnya dengan kata : Sami’tu “Aku telah mendengar”, Haddatsani “telah bercerita kepadaku”, dan yang semisal dengannya.
Dalam menerim hadits tidak
disyaratkan seorang harus muslim dan baligh. Inilah pendapat yang benar. Namun
ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima
riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk
Islam atau sebelum baligh, dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan
(yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama memberikan batasan
minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau
dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan
pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak,
maka haditsnya ditolak.
Banyak metode yang digunakan oleh
para sahabat, tabi’in, untuk menerima
hadits ada delapan, yaitu As-Sama’ atau mendengar lafadh syaikh, Al-Qira’ah
atau membaca kepada syaikh, Al-Ijazah, Al-Munawalah,
Al-Kitabah, Al-I’lam, Al-Washiyyah, dan Al-Wijadah.
Berikut ini masing-masing penjelasannya berikut lafadh-lafadh penyampaian
masing-masing :
1.
As-Sama’ atau mendengar lafadh
syaikh (guru).
Gambarannya : Seorang guru
membaca dan murid mendengarkan; baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya,
dan baik murid mendengar dan menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja,
dan tidak menulis. Menurut
jumhur ulama, as-sama’ ini merupakan bagian yang paling tinggi dalam
pengambilan hadits.
Lafadh-lafadh penyampaian hadits dengan cara
ini adalah aku telah mendengar dan telah menceritakan kepadaku. Jika perawinya
banyak : kami telah mendengar dan telah menceritakan kepada kami. Ini
menunjukkan bahwasannya dia mendengar dari sang syaikh bersama yang lain.
Adapun lafadh : telah berkata kepadaku atau
telah menyebutkan kepadaku, lebih tepat untuk mendengarkan dalam mudzakarah
pelajaran, bukan untuk mendengarkan hadits.
2.
Al-Qira’ah atau membaca kepada
syaikh. Para ahli hadits menyebutnya : Al-Ardl
Bentuknya : Seorang perawi
membaca hadits kepada seorang syaikh, dan syaikh mendengarkan bacaannya untuk
meneliti, baik perawi yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syaikh
mendengarkan, dan baik bacaan dari hafalan atau dari buku, atau baik syaikh
mengikuti pembaca dari hafalannya atau memegang kitabnya sendiri atau memegang
kitab orang lain yang Tsiqah.
Mereka (para ulama) berselisih
pendapat tentang membaca kepada syaikh; apakah dia setingkat dengan As-Sama’,
atau lebih rendah darinya? Yang benar adalah lebih rendah dari As-Sama’.
Ketika menyampaikan hadits atau
riwayat yang dibaca si perawi menggunakan lafadh-lafadh : aku telah membaca
kepada fulan atau telah dibacakan kepadanya dan aku mendengar orang membaca dan
ia menyetujuinya.
Lafadh As-Sama’ berikutnya
adalah yang terikat dengan lafadh qira’ah seperti : haddatsana Qira’atan
‘Alaih – (ia menyampaikan kepada kami melalui bacaan orang kepadanya).
Namun yang umum menurut ahli hadits adalah dengan menggunakan lafadh akhbarana
saja tanpa tambahan yang lain.
3.
Al-Ijazah
Yaitu : Seorang Syaikh
mengijinkan muridnya meriwayatkan hadits atau riwayat, baik dengan ucapan atau
tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan kepada salah seorang muridnya
: Aku ijinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara
macam-macam ijazah adalah :
a.
Syaikh mengijazahkan sesuatu yang
tertentu kepada seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan
kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling
tinggi derajatnya.
b.
Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu
dengan tanpa menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku
ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c.
Syaikh mengijazahkan kepada siapa
saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang diijazahkan,
seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada
jamanku”.
d.
Syaikh mengijazahkan kepada orang
yang tidak diketahui atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada
Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orang
yang mempunyai nama seperti itu.
e.
Syaikh memberikan ijazah kepada
orang yang tidak hadir demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis.
Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan
keturunannya”.
Bentuk pertama (a) dari beberapa
bentuk di atas adalah diperbolehkan menurut jumhur ulama, dan ditetapkan
sebagai sesuatu yang diamalkan. Dan inilah pendapat yang benar. Sedangkan
bentuk-bentuk yang lain, terjadi banyak perselisihan di antara para ulama. Ada
yang bathil lagi tidak berguna.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam
menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan
(beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbarana
ijaazatan, dan anba-ana ijaazatan
(beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4.
Al-Munaawalah atau
menyerahkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a.
Al-Munawalah yang disertai
dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah
secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang
murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk
dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan
seperti ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika
seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan :
”Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Lafadh-lafadh yang dipakai dalam menyampaikan
hadits atau riwayat yang diterima dengan jalan munawalah ini adalah jika si
perawi berkata : nawalanii wa ajazanii, atau haddatsanaa munawalatan
wa ijazatan, atau akhbarana munawalatan.
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau
dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang yang hadirs di
tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah,
seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”,
atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena
kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan
ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan
tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini
terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan
sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut
adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam
(memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari si fulan,
dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkan daripadanya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
meriwayatkan dengan cara al-I’lam. Sebagian membolehkan dan sebagian
yang lain tidak membolehkannya.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini,
si perawi berkata : A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu
kepadaku).
7. Al-Washiyyah
(mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat
mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada
sang perawi.
Riwayat yang seorang terima dengan jalan
wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak
boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini
perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin (si fulan telah
meqasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan
(si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah
(mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadits atau
kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh itu, sedang
hadots-haditsnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Wijadah ini termasuk hadits munqathi’, karena
si perawi tidak menerima sendiri dari orang yang menulisnya.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang
didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi
kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu
bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan matannya.
Al-Muhkam dan Mukhtaliful-Hadits ini merupakan
pembahasan dari macam-macam hadits maqbul (yang diterima), antara yang
dapat diamalkan dan tidak dapat diamalkan. Selain Al-Muhkam dan Mukhtaliful hadits
ini, masih ada pembahasan lain tentang Hadits Nasikh dan Mansukh.
ahlulhadis.wordprees.com
0 komentar:
Posting Komentar