Metodologi
tafsir kontekstual Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan sebelumnya.
Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai
dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama
adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia,
India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan
merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai
ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral
umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan
membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap
fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika
diperlukan.
Menurut
Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh
gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha
gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu
tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita,
pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan
konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan
hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam
kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,
penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan
metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan
membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak
bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai
gerakan antek-antek barat yang ingin
merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi
terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau
revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek
kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan
basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin
membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis
dan tidak otentik.
Di sela-sela
pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku
dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan
mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari
neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis
terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis
dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an
lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat
berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka
terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut
Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat
maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.
Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari
kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan
logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya.
Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya
dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang,
sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi
tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari
dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna
suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan
mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan
respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya,
tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan
lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam
datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari
jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran
latar belakang historis dan rationes logis
yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan
selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap
arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang
dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri
bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara
keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan
selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim
awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk
memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan
yang pertama mulai dari hal-hal yang
spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka
panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik
yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan
kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga
situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas
moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka
perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama
merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua,
instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang
sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan
kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni
terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal
diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam
memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin
bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke
dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[1] Metodologi
tafsir Rahman tidak bias lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada
baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika
perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia
Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan
ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis
yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini
muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat.
Gerakan ini secara sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang
mendalam terhadap degenarasi sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk kembali
kepada Islam yang sebenarnya, dengan memberantas takhayul-takhayul dan
dengan membuka dan melaksanakan ijtihad;
(c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan
pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut
Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh
gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha
gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad dan juga agenda gerakan seperti isu
tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita,
pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan
konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan
hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam
kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,
penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan
metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan
membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak
bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai
gerakan antek-antek barat yang ingin
merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi
terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau
revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek
kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan
basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin
membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis
dan tidak otentik.
Di sela-sela
pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku
dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan
mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari
neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis
terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis
dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an
lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat
berasal dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka
terbaratkan atau agen westernisasi.
Menurut
Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat
maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.
Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari
kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan
logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya.
Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya
dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang,
sebagaimana yang terjadi sebelumnya.
Metodologi
tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari
dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna
suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan
mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan
respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya,
tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai
situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan
lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam
datang. Langkah kedua dari gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari
jawaban-jawaban spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan
moral-sosial umum, yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran
latar belakang historis dan rationes logis
yang juga kerap dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan
selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap
arti yang ditarik, setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang
dirumuskan koheren satu sama lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri
bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara
keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan
selayaknya dibantu oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim
awal. Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk
memahami Al-Qur’an secara keseluruhan.
Apabila gerakan
yang pertama mulai dari hal-hal yang
spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral jangka
panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik
yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Gerakan
kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang sehingga
situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan priortitas-prioritas
moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara mulus, maka
perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama
merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan gerakan kedua,
instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis yang
sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan
kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni
terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal
diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam
memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang. Sebab tidak mungkin
bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke
dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.[2]
0 komentar:
Posting Komentar