Rabu, 17 April 2013

PERKEMBANGAN METODOLOGI TAFSIR


Kajian Al-Qur’an pada salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai furqan. Oleh karena fungsinya yang sangat strategis itu maka Al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Pengertian tafsir adalah suatu hasil tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai samawi yang terdapat didalam Al-Qur’an.[1]
Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat kompleksnya persoalan-persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.[2] Meskipun demikian, upaya penafsiran Al-Qur’an tetap dilakukan karena disamping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejarahan dari nabi sendiri sebagai pengemban amanat.
Sejarah mencatat, penafsiran Al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal pertumbuhan dan perkembngan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat para sahabat bertanya kepada nabi tentang ketidakpahaman tentang salah satu ayat, pada saat itu juga nabi langsung menjawabnya.
Penafsir Al-Qur’an yang pertama adalah nabi Muhammad, kemudian para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, ulama salam, ulama khalaf, hingga para penafsir kontemporer. Masing-masing penafsir itu tentunya berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena situasi dan kondisi pada masing-masing waktu sangat berbeda. Meskipun ini ditolak oleh hermes dengan teori hermeneutikanya, yaitu bahwa yang paling berwenang dalam menafsirkan informasi dari Tuhan untuk disampaikan kepada manusia adalah pemakainya, yaitu manusia itu sendiri yang disesuaikan dengan konteks yang terjadi pada saat itu.
Berdasarkan masanya, tafsir kontekstual terbagi menjadi dua bagian yaitu tafsir klasik dan tafsir kontemporer/modern.
1.      Tafsir Klasik
Masa yang paling klasik pada penafsiran adalah pada masa nabi masih hidup dengan tatanan kehidupannya. Al-Qur’an diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang pada saat itu. Artinya Asbabun an Nuzulnya Al-Qur’an disesuaikan dengan masalah yang dihadapi pada saat itu. Tentunya pada periode ini tidak banyak menimbulkan permasalahan yang sangat besar, karena selain ayat diturunkan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada saat itu, juga adanya nabi sebagai penafsir ayat-ayat yang kurang jelas. Sehingga para sahabat yang tidak paham dapat bertanya langsung kepada nabi.
2.      Tafsir Kontemporer/Modern
Seiring dengan dinamika intelektual manusia serta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka tafsir kontemporer menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan oleh pemakainya, sehingga ia akan berusaha menggunakan yang lebih baru. Sehingga keberadaan sebuah metodologi dalam penafsiran kontemporer dalam Al-Qur’an mutlak diperlukan.[3]


[1] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 143
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an fungsi dan wahyu dalam kehidupan masyarakat , (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 75
[3] Abd Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakrta: Teras, 2005), hlm. 51

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting